Selasa, 16 Maret 2010

fermentasi tape

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tape adalah produk fermentasi yang berbentuk pasta tergantung dari jenis bahan bakunya. Tape dibuat dengan menggunakan starter yang berisi campuran mikroba. Produk ini mempunyai cita rasa dan aroma yang khas yaitu gabungan antara rasa manis, sedikit asam dan cita rasa alkohol. Menurut jenis bahan bakunya dikenal berbagai jenis tape yaitu tepe ubu kayu, tape ketan dan tape, tape sorgum dan air tape (brem).
Tape yang umum dikenal adalah tape ubi kayu, tape ketan, tape sorghum dan tape beras masih belum banyak diproduksi secara masal di Indonesia. Ubi kayu yang diolah menjadi tape adalah ubi kayu jenis manis yang dapat berwarna kuning atau putih. Varietas ubi kayu yang banyak digunakan untuk tape adalah Aldira dan Gading roti. Ketan yang digunakan untuk tape adalah ketan hitam atau ketan putih. Bahan lainnya yang banyak mengandung karbohidrat dapat pula digunakan sebagai bahan baku, misalnya ubi jalar, pisang dan sukun. Meskipun hal ini belum lazim dilakukan dimasyarakat luas untuk memperoleh nilai ekonomisnya.

B. Tujuan Percobaan
Untuk mempelajari fermentasi alkohol dari tape dengan bahan dasar hasil pertanian sumber karbohidrat dan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama proses fermentasi.








II. TINJAUAN PUSTAKA

Serealia dan umbi-umbian banyak tumbuh di Indonesia. Produksi serealia terutama beras sebagai bahan pangan pokok dan umbi-umbian cukup tinggi. Begitu pula dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan akan serealia dan umbi-umbian sebagai sumber energi pun terus meningkat. Tanaman dengan kadar karbohidrat tinggi seperti halnya serealia dan umbi-umbian pada umumnya tahan terhadap suhu tinggi. Serealia dan umbi-umbian sering dihidangkan dalam bentuk segar, rebusan atau kukusan, hal ini tergantung dari selera.
Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya dengan mengolah serealia dan umbi-umbian menjadi berbagai bentuk awetan yang mempunyai rasa khas dan tahan lama disimpan. Bentuk olahan tersebut berupa tepung, gaplek, tape, keripik dan lainya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah khususnya dalam mengatasi masalah kebutuhan bahan pangan, terutama non-beras.
Tapai adalah hasil fermentasi umbi-umbian atau ketan. Pada umumnya tapai dibuat dari ubi kayu dan ketan hitam. Pada saat fermentasi, kapan merombak pati menjadi gula sehingga memberi rasa manis. Selanjutnya khamir merombak sebagian gula menjadi alkohol, dan bakteri merombak sebagian alkohol menjadi asam. Tapai mempunyaii rasa manis, sedikit asam dan beraroma alkohol.
Tapai ubi kayu dibuat dengan cara sederhana. Umbi terkupas dikukus atau direbus, kemudian ditaburi ragi, selanjutnya diperam selama 2 hari sampai menjadi tapai. Tapai ketan adalah makanan tradisional yang bahan bakunya berupa beras ketan dan ragi sebagai bahan penolongnya. Dengan proses pengolahan yang baik, tapai ketan ini dapat tahan lebih dari 1 minggu (Warintek 2006).
Pembuatan tape memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar singkong atau ketan dapat menjadi lunak karena proses fermentasi yang baik. Ragi adalah bibit jamur yang digunakan untuk membuat tape. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. Alat-alat yang berminyak jika digunakan untuk mengolah pembuatan tape bisa menyebabkan kegagalan fermentasi. Air juga harus bersih. Menggunakan air hujan juga bisa menyebabkan gagal fermentasi.
Selain dimakan langsung, tape juga enak dijadikan olahan lain atau dicampur dengan makanan atau minuman lain. Seperti tape pulut sangat enak untuk campuran cendol atau es campur, bisa juga diolah kembali menjadi wajik atau dodol. Sedangkan tape singkong selain bisa dijadikan campuran cendol, es campur atau es doger, bisa juga dibuat makanan gorengan rondo royal (tape goreng), colenak, dll (Wikipedia, 2006).
Pembuatan tape termasuk fermentasi hetero, yaitu menggunakan 2 macam biakan dari jenis mikroba yang berbeda. Pada fermentasi tape, ragi berfungsi sebagai starter fermentasi. Ragi pasar mengandung berbagai macam mikroba. Menurut beberapa penelitian, mikroba pada ragi pasar meliputi kapang dan khamir dari berbagai jenis. Sebagai contoh terdapat Amylomyces, Mucor, Rhizopus dan Aspergillus. Untuk kapang amilolitik dan untuk jemis khamir amilolitik dijumpai Endomycopsis dan untuk yang bersifat non amilolitik dijumpai khamir seperti Candida, Saccharomyces dan Endomycopsis.
Mikroba yang paling berperan dalam fermentasi tape adalah Amylomyces rouxii, Endomycopsis burtonii dan Saccharomyces cerevisiae. Selain itu dijumpai pula bakteri asam laktat dan bakteri amilolitik.
Pengendalian fermentasi alkohol dilakukan dengan mengatur kondisi optimal untuk pertumbuhan khamir dan kapang. Khamir dapat hidup pada bahan pangan dengan kadar air cukup. Kapang bersifat osmofilik dan mesofilik, serta bersifat anaerobik pada awal fermentasi dan selanjutnya anaerobik pada proses fermentasi akhir menghasilkan alkohol dan bersifat fermentatif. Kapang mesofilik tumbuh optimum pada suhu 250 – 270 C, dan tumbuh optimum pada bahan pangan dengan Aw 15 % (Zubaidah, 1998).




III. METODE PERCOBAAN

A. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain kompor, panci, daun pisang, timbangan wadah dan kain pembungkus. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan antara lain ketan hitam, beras, ubi kayu, ragi tape dan tepung gula.

B. Cara Kerja
1. Masing-masing sebanyak 250 gr beras, ketan dan ubi kayu ditimbang lalu dicuci dan ditiriskan.
2. Selanjutnya direndam dengan air dalam panci hingga hampir terendam dan masak sampai air terserap habis.
3. kemudian dikukus  30 menit.
4. Didinginkan lalu dibagi ke dalam 2 wadah dengan berat yang sama. Selanjutnya ditaburi ragi sebanyak 2 gr atau 2,5 gr lalu aduk rata.
5. Pada wadah ke 2 diberi perlakuan dengan cara menaburkan tepung gula sebanyak  10 gr secara merata.
6. Bahan-bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah dilapisi daun pisang. Kemudian tutup rapat dan bungkus dengan kain.
7. Inkubasi pada suhu ruang ditempat yang tertutup selama  2 hari.
8. Dilakukan pengamatan yang meliputi rasa, aroma, adanya kontaminan, takstur dan warna.








IV. DATA HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Data Hasil Pengamatan
Berikut ini adalah data hasil fermentasi tape dari tiap-tiap kelompok dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
2 gr Ragi Penampakan Aroma Kontaminan Rasa Warna
Hari I Hari II Hari I Hari II Hari I Hari II Hari I Hari II Hari I Hari II
Kel I + ++ ++ ++ - - + + + ++
Kel II + ++ + ++ - - + - + +++
Kel III + + + + - - - - ++ ++
Kel IV ++ - ++ - - + - - - -
Kel V + ++ + + - - - - ++ ++
Kel VI ++ +++ ++ +++ - - - - + ++

2,5 gr Ragi dan 10 gr gula Penampakan Aroma Kontaminan Rasa Warna
Hari I Hari II Hari I Hari II Hari I Hari II Hari I Hari II Hari I Hari II
Kel I + ++ ++ ++ - - - + + +++
Kel II + ++ + ++ - - - + + +++
Kel III + + + + - - - - ++ ++
Kel IV + - ++ - - + - - + -
Kel V + ++ + + - - - - ++ ++
Kel VI + +++ ++ +++ - - - - + ++


B. Pembahasan
(a) Fungsi Ragi dan Gula
Pada fermentasi tape, ragi berfungsi sebagai starter (populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi). Ragi banyak mengandung berbagai macam mikroba. Mikroba pada ragi meliputi kapang dan khamir dari berbagai jenis. Sebagai contoh terdapat Amylomyces, Mucor, Rhizopus dan Aspergillus. Untuk kapang amilolitik dan untuk jemis khamir amilolitik dijumpai Endomycopsis dan untuk yang bersifat non amilolitik dijumpai khamir seperti Candida, Saccharomyces, Endomycopsis dan lain-lain. Selama fermentasi, ragi akan memecah heksosa yang dihasilkan pemecah pati oleh kapang menjadi asam sehingga heksosa tersebut tidak lagi berperan sebagai HCN yang akan menyebabkan menurunnya kadar HCN.
Penambahan gula pada fermentasai tape berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi mikroorganisme yang mampu hidup dari jenis amilolitik seperti Amylomyces rouxi dan Aspergillus. Selain itu, gula juga dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi yang menurun diakhir proses fermentasi karena sebagian gula pereduksi bereaksi dengan asam-asam amino.
(b) Fungsi Pembungkus pada Tape
Tape biasanya ditutup dengan daun pisang atau pembungkus plastik yang dilubangi di beberapa tempat kemudian tutup dengan kain serbet. Biasanya dalam bungkusan tersebut ditambahkan bawang merah dan cabai dengan maksud agar tapenya bisa jadi atau tidak rusak.
Pembungkus tersebut berfungsi sebagai pelindung dari oksigen dan cahaya. Dalam proses fermentasi, tape tidak boleh terkena cahaya dan oksigen karena dapat menyebabkan proses metabolisme berjalan dengan cepat sehingga akan menghasilkan panas yang akan merusak pertumbuhan kapang. Pembungkus juga dapat menurunkan suhu sehingga memudahkan spora-spora membentuk benang-benang hifa yang padat dan halus.
(c) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kapang
Oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang. Pada awal fermentasi diperlukan cukup udara. Selanjutnya pada fermentasi akhir dibutuhkan suasana anaerob yang akan menghasilkan alkohol. Kapang tersebut dapat tumbuh optimum pada bahan pangan dengan Aw 15 %. Faktor-faktor lainnya antara lain :
 Suhu
Suhu yang diberikan adalah suhu ruang sehingga sesuai dengan pertumbuhan semua mikroorganisme yang bekerja pada pembuatan tape.



 ph
fermentasi oleh Acetobacter mengakibatkan penurunan pH, medium menjadi bersifat asam sehingga mengakibatkan mikroorganisme lain tidak mampu untuk hidup.
 Sifat fisik
Bahan menjadi lebih lunak setelah dikukus dan juga mengurangi kontaminasi mikroba lain sehingga hanya kapang jenis amilolitik saja yang dapat hidup.
 Nutrisi
Bahan yang digunakan adalah penghasil pati. Pati tersebut akan menjadi sumber makanan bagi kapang selama proses fermentasi berlangsung.




















V. KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya :
1. Ragi berfungsi sebagai starter sedangkan gula berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi kapang dan juga dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi.
2. Fungsi pembungkus pada tape adalah untuk melindungi tape dari cahaya dan oksigen serta menurunkan suhu sehingga dapat memudahkan spora-spora membentuk benang hifa yang padat dan halus.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang antara lain oksigen, suhu, pH, sifat fisik dan nutrisi.
4. Hasil fermentasi yang paling baik didapat melalui penambahan ragi 2 gr dan gula 10gr.















DAFTAR PUSTAKA


Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat. TAPE UBI KAYU. http://warintek.progressio.or.id/pangan/tape. [23-04-2006].

GNU Free Documentation License. 30-03-2006. TAPE. http://id.wikipedia.org/wiki/tape. [23-04-2006].

Zubaidah, E. 1998. TEKNOLOGI PANGAN FERMENTASI. Jurusan THP-Universitas Brawijaya, Malang.
Food Safety dan Implementasi Quality System
Industri Pangan di Era Pasar Bebas

baihaqi,c.S.T.P



I. Pendahuluan

Dalam krisis moneter seperti saat ini, pengembangan agroindustri yang mempunyai peluang dan berpotensi adalah agroindustri yang memanfaatkan bahan baku utama produk hasil pertanian dalam negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional. Agroindustri yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata merupakan industri yang rapuh karena sangat tergantung dari kuat/lemahnya nilai rupiah terhadap nilai dolar, sehingga ketika dolar menguat industri tidak sanggup membeli bahan baku impor tersebut.

Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya.


II. Keamanan Pangan


Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan.

Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.

Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum adalah: (1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan (4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan.


A. Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% - 10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.

Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.

Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang digunakan dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya banyak ditemukan pada makanan jajanan, makanan yang dijual di warung-warung di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan hewani (daging, ayam dan ikan) yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil pengujian di 8 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan positif mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi.

Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang diperiksa sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal kelengkapan dan kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan dari sejumlah contoh iklan yang diperiksa terutama karena memberikan informasi yang menyesatkan (mengarah ke pengobatan) dan menyimpang dari peraturan periklanan.
Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel Hari Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar 33,22%-43,57% sarana menjual produk kadaluarsa.

Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi masih banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium yang diperiksa sekitar sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi persyaratan kandungan KlO3.

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak yang beredar di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak mempunyai nomor ML (izin peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1% tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Ditemukan pula sayuran dan buah-buahan impor yang mengandung residu pestisida yang cukup tinggi serta mikroba dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada produk pangan hewani.


B. Kasus Keracunan Makanan

Sepanjang tahun 1994/1995 dilaporkan sejumlah 26 kasus keracunan makanan yang menyebabkan 1.552 orang menderita dan 25 orang meninggal, sedangkan tahun 1995/1996 dilaporkan sebanyak 30 kasus dengan 92 orang menderita dan 13 orang meninggal. Dari kasus tersebut hanya 2 – 5 kasus yang telah diidentifikasi dengan jelas penyebabnya. Diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan ini masih sangat rendah dibandingkan keadaan sebenarnya yang terjadi. WHO (1998) memperkirakan perbandingan antara kasus keracunan makanan yang dilaporkan dan yang sebenarnya terjadi adalah 1: 10 untuk negara maju dan 1 : 25 untuk negara yang sedang berkembang. Sebaran kasus keracunan di 10 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kasus keracunan pangan di 10 Propinsi di Indonesia dalam tahun 1996-1997

PROPINSI Jumlah Kasus Jumlah Korban Sumber/asal
TPM Jumlah yang telah Diidentifikasi penyebabnya
Penderita Meninggal
1. D. I. Aceh
2. Sumatera Barat

1. Bengkulu
2. Jawa Barat
3. Jawa Tengah

4. Jawa Timur




5. Kalimantan Barat
6. Kalimantan Selatan
7. Sulawesi Selatan


8. Bali 1
2

1
1
6

12




2
1
4


1 3
10

37
163
431

505




27
18
76


111 0
1

0
0
0

6




0
0
7


0 Makjan
Rumah Tangga
(RT)
Rumah Tangga
Jasaboga
Jasaboga
Pasar
Jasaboga,
Industri RT,
Makjan pasar


Toko, RT
-
Pasar, RT


Lokal -
-

Zat Kimia
-
-

1 (nitrit)
1 (amaranth)
1 (pestisida)
1 (salmonella)
8 (?)
-
-
1 (jamur)
1 (nitrit)
2 (?)
Shigella
S. aureus
Jumlah 31 1.381 14 16
(51,61%)
Sumber: Direktorat Penyehatan lingkungan Pemukiman, Ditjen PPMPLP, Depkes (1998)

C. Tanggung Jawab dan Kesadaran Produsen dan Distributor

Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.

Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.

Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% - 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.


D. Pengetahuan dan Kepedulian Konsumen

Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai program dan pembinaan baik terhadap pedagang, pengusaha dan pengolah/penjaja makanan maupun terhadap lokasi penjualan dan pengolahan pangan. Pembinaan dilakukan tidak hanya oleh Departemen Kesehatan, namun melibatkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1995/1996 menunjukkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa telah lebih dari 60% kelompok makanan jajanan (lokasi dan pedagang) pengrajin makanan (lokasi desa dan pengrajin) dibina, namun baru sekitar 14,65% pengusaha dan 23,86 penjaja makanan yang telah dibina dalam hal pengelolaan makanan secara aman.



III. Dampak Penyimpangan Mutu dan Masalah Keamanan Pangan

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global (Fardiaz, 1996), yaitu:
Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, yaitu: (1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam produk pangan; (2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat pertanian) pada berbagai produk pangan; (3) Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran microba patogen pada berbagai produk pangan; (4) Pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat; (5) Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk produk impor; (6) Pemalsuan produk pangan; (7) Cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat; dan (8) Mutu dan keamanan produk pangan belum dapat bersaing di pasar Internasional.

Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap pemerintah, industri dan konsumen seperti tercantum dalam Tabel 2. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga sektor tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.


IV. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).


Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri dan konsumen.

PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH INDUSTRI KONSUMEN
• Penyelidikan dan penyedikan kasus
• Biaya penyelidikan dan analisis
• Kehilangan Produktivitas
• Penurunan ekspor
• Biaya sosial sekuriti
• Penganguran • Penarikan produk
• Penutupan pabrik
• Kerugian
• Penelusuran penyebab
• Kehilangan pasar dan pelanggan
• Kehilangan kepercayaan konsumen (domestik dan internasional)
• Administrasi asuransi
• Biaya legalitas
• Biaya dan waktu rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen)
• Penuntutan konsumen • Biaya pengobatan dan rehabilitasi
• Kehilangan pendapatan dan produktivitas
• Sakit, penderitaan dan mungkin kematian
• Kehilangan waktu
• Biaya penuntutan/pelaporan

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive 91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety), meskipun dapat pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness), dan pencegahan tindakan-tindakan kecurangan dalam perekonomian (economic fraund) (Tim Inter Departemen Bappenas, 1996).


Konsep Implementasi Quality System dan Safety

SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN
 Perkembangan industri pangan yang semakin pesat

 Tersedianya UU Pangan dan Peraturan
 Tersedianya sistem manajemen mutu dan keamanan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GRP, ISO 9000, ISO 14000 ,dll)  Produk pangan didominasi oleh industri kecil/rumah tangga
 Kualitas SDM belum memadai
 Kelembagaan koordinasi belum terpadu
 Penguasaan Iptek yang masih lemah
 Keterbatasan dan sumber dana
 Kepedulian produsen dan konsumen masih rendah
 Keterbatasan infrastruktur (laboratorium, peraturan, pedoman, standar)  Globalisasi produk agroindustri  Persaingan internasional yang semakin ketat
 Peraturan dan kesepakatan internasional (WTO/TBT, SPS, dll)
KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM
PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
(Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000)
IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN







Gambar 1. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.






















Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional


V. Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.


















IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH INDUSTRI
(Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor, Pengecer) KONSUMEN
MASYARAKAT
 Penyusunan kebijaksanaan strategi, program dan peraturan
 Pelakasanaan program
 Pemasyarakatan UU Pangan dan peraturan
 Pengawasan dan low enforcement
 Pengumpulan informasi
 Pengembangan Iptek dan penelitian
 Pengembangan SDM (pengawas pangan, penyuluh pangan, industri)
 Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen
 Penyelidikan dan penyedikan kasus penyimpangan mutu dan keamanan pangan  Penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll)
 Pengawasan mutu dan keamanan produk
 Penerapan teknologi yang tepat (aman, ramah lingkungan, dll)
 Pengembangan SDM (manager, supervisor, pekerja pengolah pangan)  Pengembangan SDM (pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan pangan
 Praktek penanganan dan pengolahan pangan yang baik (GCP)
 Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan

TANGGUNG JAWAB BERSAMA






Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan


VI. Kebijakan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional tersebut adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Pangan: 1997):

1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan pengembangan, pengembangan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan.
2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat.
3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat.
4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional.
5. Meningkatkan pengawasan melekat/mandiri (self regulatory control) pada produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan.
6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan yang secara internasional telah disepakati bersama.
7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan.
8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu.
9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan Nasional.
10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu pangan melalui pendidikan dan latihan.



VII. Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub program yang perlu dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan secara nasional yang dibedakan atas program utama dan penunjang (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai berikut:

Program utama: (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu dan gizi pangan, standarisasi mutu dan keamanan pangan; (4) Pengembangan sistem keamanan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5) Penyelenggaraan pelayanan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan keamanan pangan; (7) Penelitian dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8) Pengembangan harmonisasi internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan mutu dan keamanan pangan; (9) Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10) Pengembangan sistem jaringan informasi pembinaan mutu pangan.

Program Penunjang: (1) Kegiatan pengembangan pengendalian lingkungan; (2) Pengembangan penyuluhan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan dalam bisnis pangan.



VIII. Penutup

Sudah saatnya antisipasi akan quality system yang konsisten dan keamanan pangan terutama di industri pangan dicermati dan diimplementasikan di era pasar bebas ini.

Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice)

Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 – 9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri



DAFTAR PUSTAKA


Fardiaz, S, 1996. Food Control Policy, WHO national Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, September 1996.

Fardiaz, S. 1996. Food Control Strategy, WHO National Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, December 1996.

Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997. Kebijakan Nasional dan Program Pembinaan Mutu Pangan. Jakarta

Tim Inter Departemen Bappenas, 1996. Sistem Pembinaan Mutu Pangan (F.G. Winarno dan Surono, editor). Bappenas, Jakarta

WHO 1998 Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India.